Judul : Merantau ke Deli
Penulis : Prof. Dr. Hamka
Penerbit : Bulan Bintang
Tahun
Terbit : 1977
Jumlah
Halaman : x + 194
Peresensi : Desita W.
Asal
Buku : @indgiveaway
Novel ini mengisahkan tentang Poniem, kuli kontrak keturunan Jawa
(merangkap sebagai gundik seorang mandor besar perkebunan di Deli) yang diambil
isteri oleh pemuda Minangkabau bernama Leman.
“... Saya memang mau kawin dengan Abang, tetapi bukan karena percintaan,
bukan karena hawa nafsu, tetapi hendak meminta perlindungan bagi diri saya yang
lemah.
Bila kami perempuan Jawa telah bersuami, maka badan dan jiwa, harta benda,
lahir batin dunia akhirat kami serahkan. Celakalah laki-laki yang
menyia-nyiakan penyerahan itu!”
-halaman 17-
Setelah menikah dalam perantauan, mereka merintis usaha perdagangan untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Saat sudah cukup sukses, dibawalah Poniem
mengunjungi tanah Minang. Perangai Poniem yang santun membuatnya diterima cukup
baik. Sayang, pemikiran masyarakat yang masih kolot terkait pelaksanaan adat
akhirnya menjadi riak di tengah rumah tangga keduanya.
Leman yang jiwa mudanya masih bergejolak termakan bujukan kaum kerabat
untuk mengambil seorang lagi sebagai isteri dari sesama anak Minang tanpa mempertimbangkannya
lebih serius lagi.
“Di mana tumbuh, di waktu itulah disiangi! Habis perkara!”
-halaman 70-
Berkat
kelihaian isteri kedua (Mariatun) dalam mengambil hati, Leman yang tadinya
berusaha membagi cintanya dengan adil akhirnya menjadi berat sebelah.
Kecemburuan telah bermetamorfosis menjadi virus bagi orang-orang waras yang
jatuh cinta.
“Poniem
telah tahu perbuatan Mariatun itu salah. Tetapi lantaran tidak mau kalah,
lantaran
hendak meminta persamaan hak, dia tidak peduli kesalahan kawannya melainkan dia
ikut pula membuat kesalahan sebuah lagi...”
-halaman 129-
[saya curiga, praktik menyontek juga dipicu
pemikiran semacam ini, hehe]
Pertengkaran-pertengkaran
kecil menyulut pertengkaran yang lebih besar. Hingga puncaknya, Leman
menjatuhkan talak tiga pada Poniem. Terbuktilah, janji-janji yang pernah
terlontar dari mulut Leman tinggallah kata-kata kosong [kamu akan paham maksud
saya kalau sudah baca sendiri novel ini].
Setelah
peristiwa nahas itu, baik Leman maupun Poniem sama-sama menjalani kehidupan
masing-masing. Roda hidup meletakkan mereka pada titik yang berbeda.
Dibandingkan karma, apa yang kemudian hari menghampiri mereka lebih terkait
pada cara mereka mengambil sikap.
Karena
tokoh-tokoh inti dalam novel ini sama-sama diberi porsi kejahatan dan kebaikan
selayaknya manusia pada umumnya, jadi endingnya juga berbobot. Cerminan
kedewasaan.
****
Saya
bukan pembaca yang anti dengan novel-novel klasik tetapi juga bukan penggemar
novel semacam itu. Jadi seperti pembaca awam pada umumnya, saya aras-arasen untuk mulai membaca lembar
pertama hingga setelahnya jadi sulit berhenti setelah memasuki bab III.
Salah
satu pemicunya adalah bertaburnya kritikan yang menurut saya cukup pedas
(maklumlah, pecinta debat). Entah kritikan untuk orang-orang beragama,
orang-orang beradat (yang banyak dibahas sih adat Minangkabau), maupun
masyarakat Indonesia pada umumnya.
“...
Dosa tak boleh ditimpakan kepada mereka yang jadi korban itu saja.
Karena
ini [menjual diri] adalah suatu penyakit masyarakat yang lebih patut diratapi
dari pada dikutuki.”
-halaman 20-
Sekilas
info, karya ini diterbitkannya dalam bentuk buku untuk pertama kali pada tahun
1941 sehingga di dalamnya bau nasionalisme sudah mulai tercium.
“...
Mereka telah masuk ke dalam masyarakat baru, masyarakat Deli yang terhimpun
dari berbagai suku dari segenap daerah Indonesia, untuk kelak melahirkan
keturunan baru,
anak
Indonesia yang sejati.”
-halaman 170-
Ada
pula komentar yang masih cukup relevan untuk menggambarkan Indonesia saat ini.
“...
Adat lama telah goyah dan adat baru belum tegak.”
-halaman 178-
Tentu
saja frasa sebelumnya perlu disesuaikan.
Kampung
halaman → tanah air.
Jalan
ke rantau → globalisasi atau modernisasi.
Dua
tokoh sampingan yang pemikirannya saya kagumi adalah sebagai berikut:
1. Bagindo
Kayo
“...
Dia merasa nikmat dalam kehinaannya!
Apakah
engkau sanggup menjaga kenikmatannya di dalam kemuliaannya?”
-halaman 25-
“Kalau
memang engkau cinta kepada perempuan yang melarat itu yang hanya engkau ibarat
seutas tali tempatnya bergantung, hanya engkau ayah-ibunya, engkau hanya
familinya, tentu dia tidak akan engkau duakan dengan yang lain, tentu hatinya
tidak akan engkau tikam.”
-halaman 74-
2. Toke
Abdullah
“Sudah
banyak negeri yang saya jejak, sebab itu faham saya sudah lebih luas. Buat
saya, seluruh tanah Indonesia ini adalah tanah air saya, tidak berbeda, dan di
mana saya diberi anugerah oleh Tuhan, haruslah anugerah itu saya syukuri.”
-halaman 165-
Sama
isi beda kemasan, jangkauannya saya perlebar lagi jadi gini:
“Semesta adalah tanah air saya. Maka tak sepantasnya
membanding-bandingkan negeri dan mengkotak-kotakkannya dengan stempel adat
setempat.”
Sedikit-banyak
terpengaruh “Supernova”-nya Dee. Peace
ya! Saya gak bermaksud ingin melepaskan diri dari Indonesia kok >_*
Selain
suka dengan pilihan kata yang digunakan, saya juga menyukai ending “Merantau ke
Deli” dibandingkan beberapa karya Hamka yang sudah lebih dahulu saya ketahui.