Sabtu, 20 Januari 2018

Setiap Orang Aneh dengan Caranya Sendiri

Review “Teka-Teki Terakhir” karya Annisa Ihsani
Judul               : Teka-Teki Terakhir
Penulis             : Annisa Ihsani
Editor              : Ayu Yudha
Desain sampul : EorG
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Terbit               : Maret 2014 (cetakan pertama)
ISBN               : 978-602-03-0298-0
Tebal               : 256 hlm
Ukuran            : 13,5 x 20 cm
Blurb
Gosipnya, suami-istri Maxwell penyihir. Ada juga yang bilang pasangan itu ilmuwan gila. Tidak sedikit yang mengatakan mereka keluarga ningrat yang melarikan diri ke Littlewood. Hanya itu yang Laura tahu tentang tetangganya tersebut.
Dia tidak pernah menyangka kenyataan tentang mereka lebih misterius daripada yang digosipkan. Di balik pintu rumah putih di Jalan Eddington, ada sekumpulan teka-teki logika, paradoks membingungkan tentang tukang cukur, dan obsesi terhadap pertanyaan matematika yang belum terpecahkan selama lebih dari tiga abad. Terlebih lagi, Laura tidak pernah menyangka akan menjadi bagian dari semua itu.
Tahun 1992, Laura berusia dua belas tahun, dan teka-teki terakhir mengubah hidupnya selamanya...
****
Cover baru Teka-Teki Terakhir
Teka-Teki Terakhir diterbitkan pertama kali pada tahun 2005 dan cetak ulangnya pada Oktober 2017 silam hadir dalam balutan wajah baru. Yups! Desain cover ke-2 Teka-Teki Terakhir inilah yang membawa @sukutangan (Putu Genta Simaoka dan Sekar Wulandari Yogaster) dianugrahi piala Bronze oleh @PinasthikaFest pada 16 Desember 2017 lalu, tentunya selain desain sampul Contact Light mereka yang memperoleh penghargaan serupa.
Setahu saya, Teka-Teki Terakhir merupakan novel debutnya sang penulis. Dengan gaya bercerita yang renyah dan mengalir serta cerita yang berbobot macam ini, saya tak keberatan untuk mulai berburu karya Annisa Ihsani lainnya. Teka-Teki Terakhir sendiri menceritakan kehidupan gadis berusia 12 tahun yang mulai berubah sejak ia berinteraksi secara langsung dengan keluarga Maxwell.
Ada banyak versi yang menceritakan tentang keanehan keluarga Maxwell sejak kepindahan mereka ke kota kecil seperti Littlewood lima belas tahun silam. Kebiasaan mereka yang jarang keluar rumah juga tak bisa membantu untuk membuktikan atau menyanggah gosip yang beredar. Bahkan Laura dan Jack –tetangga kecil mereka–, sudah menyerah untuk mencari tahu kebenaran dari cerita yang beredar.
Tapi siapa sangka, pertemuan singkat antara Laura dan Tuan Maxwell akan membangkitkan kembali rasa ingin tahu gadis itu. Dari sinilah lambat-laun cara berfikir Laura kecil menjadi semakin matang. Mulai dari bagaimana ia menyikapi sesuatu yang belum dikenal, bagaimana menyikapi pendapat orang tentang dirinya, dan masih banyak lagi.
“Semua orang aneh dengan caranya sendiri. Terkadang keanehanmu tidak cocok dengan keanehan orang lain, jadi mereka menyebutmu aneh. Tapi terkadang keanehanmu cocok dengan keanehan seseorang, dan kalian bisa berteman.” –halaman 147–
****
Selain suka dengan gaya bertutur penulis yang sempat saya singgung di atas, saya juga suka dengan caranya memanfaatkan setting. Meski Littlewood dan tata letaknya itu benar ada atau tidak, banyaknya detail yang ditambahkan membuat tempat itu benar-benar terasa nyata sekaligus hidup. Di sini setting tempat juga tidak hanya dijadikan hiasan belaka melainkan ikut turut serta dalam permainan cerita.
Tokoh-tokoh di novel ini juga mudah dicintai. Memang bukan tokoh serba sempurna seperti di dongeng-dongeng, melainkan cenderung berupa tokoh abu-abu, tapi justru di situ letak magisnya. Tokoh-tokoh itu jadi begitu realistis dengan porsi sifat baik-buruk yang tidak berat sebelah, apalagi cara penulis menggambarkan alur kedewasaan mereka dalam setiap tahapnya. Greget rasa simpatinya dapet bangetlah.
Laura dengan rasa ingin tahunya, Jack dengan antusiasme impiannya, pasangan suami-istri Maxwell dengan totalitasnya, dan tokoh-tokoh lain yang sama khasnya tentu mudah membekas dan sulit untuk dilupakan. Bahkan Katie yang bukan termasuk tokoh favorit saya juga masih berkesan, argumennya ketika memberikan analogi atas kemarahan Nyonya Maxwell hingga penjelasannya terdengar begitu masuk akal rasanya masih hangat di telinga. Padahal dia berbicara pada Laura –bukan saya–, hehe.
Owh iya, novel ini menampilkan sosok guru yang beragam. Jadi secara insting saya langsung teringat dengan beberapa guru saya zaman sekolah dulu.
1.      Pak Larson, ia guru [matematika] pertama yang diperkenal Laura sekaligus guru yang memberinya angka 0 (salah satu pangkal masalah yang nantinya menjadi arus cerita). Tokoh ini mengingatkan saya dengan guru matematika saya ketika berada di kelas 7, yakni Pak Joko (SMP N 1 Tersono). Baik Pak Larson dan Pak Joko ini sebenarnya guru yang cukup baik. Mereka akan dengan senang hati memberikan pelajaran tambahan sepulang sekolah untuk murid-murid yang ‘tertinggal’. Masalahnya kebanyakan ‘murid tertinggal’ adalah murid yang tidak menjadikan belajar sebagai hobi, jadi tentu kebaikan mereka kadang bisa diartikan sebagai suatu penyiksaan. ;)
2.      Bu Winter, guru matematika Laura di tahun keduanya di SMP. Sejak hari pertamanya mengajar, beliau sudah memberi kuis untuk mengetes seberapa jauh kemampuan murid-muridnya alih-alih sekadar perkenalan sebagaimana guru pada umumnya. Mau tak mau tokoh ini langsung mengingatkan saya kepada Bu Rasi (SMA N 4 Pekalongan), guru fisika saya yang melakukan hal serupa. Jujur, hari itu hampir setiap murid di kelas begitu shock. Kami bahkan menggunjingi beliau sampai setahun ke depan. Tapi begitu memasuki kelas 11-12, kami sadar bahwa kami benar-benar bersyukur pernah diajar oleh beliau.
3.      Tuan Maxwell. Saya ingat bahwa ada suatu bagian di buku dimana Laura mengatakan tak ada yang bisa menjelaskan matematika ‘seasyik –saya tak yakin frasa ini tepat–’ tuan Maxwell. Jadi teringat guru les matematika saya selama 3 tahun di SMP, Pak Kus. Beliau juga jadi guru matematika ketika saya kelas 8 dan 9 di SMP N 1 Tersono, tapi saya lebih menyukai pengajarannya di tempat les. Mungkin karena durasi waktunya lebih singkat dan murid-murid yang berpartisipasi lebih antusias daripada di kelas pada umumnya, jadi kami akan semakin terpacu dengan tenggat waktu dan semakin tertantang ketika menemui level soal di atas rata-rata dari yang biasanya diajarkan di kelas. Baru beliau yang bisa membangkitkan gairah saya untuk memecahkan soal matematika layaknya saat itu. Mungkin benar, bahwa dalam hidup kau takkan sering bertemu dengan orang-orang yang akan punya chemistry kuat denganmu. Dan saya rasa beliau telah menjadi salah satu di antaranya.
Untuk Guruku:
You and Us
Hubungan kita itu terlihat sederhana
Namun sesuatu yang sederhana itu jangan dilupakan
Karena hubungan itu termasuk cinta yang manis
Tetapi ingat! Sesuatu yang manis itu kadang beracun
Meski tetap saja, itu tidak bisa dijelaskan dengan logika
Sebab rasa kan tetap sama
Jadi meski rasa itu tunggal, jangan lupakan!
Tetaplah jadi Aseton (Keton) kami
Meski berwujud sederhana, namun penting
****
Hal-hal ironis yang memberi kesan mendalam tapi disampaikan dengan sangat apik dalam cerita menurut versi saya:
“Aku benci sekolah,” keluh Katie. “Mereka hanya menilai kita dari seberapa baik kita bisa menghafal fakta-fakta.” –halaman 80–
“..., ketika usiaku menginjak empat puluh, sudah jelas aku kehilangan semua kreativitas dan ketajaman pikiran yang dibutuhkan untuk pekerjaanku. Dan dalam matematika, kalau bukan yang terbaik, kau bukan siapa-siapa.” –halaman 92–
****
         Sampai akhirpun saya tak menemukan kelemahan dalam cerita. Bahkan ending yang biasanya sering membuat pembaca kecewa juga berhasil dieksekusi penulis dengan baik. Mungkin ini adalah sesuatu yang belum terpuaskan jika tak bisa disebut sebagai kelemahan. Pertama, tentang Peter. Saya masih penasaran alasan dia ‘mendekati’ Laura. Sampai akhirpun misteri ini tidak diterangkan. Kedua, saya masih penasaran dengan alur yang digunakan penulis. Seakan Si Laura ini menceritakan pangalamannya, tapi terkadang ia menunjukkan secara langsung cerita itu seakan-akan dia tidak terikat oleh waktu. Bukannya saya merasa terganggu atau bagaimana, saya justru sangat tertarik dengan trik yang digunakan penulis karena pergantian alur tersebut sangat halus hingga kadang saya tak sadar. Hanya saja jika saya harus menganalis novel ini, mungkin saya akan ragu untuk menuliskan jenis alur yang dipakai.
****
Meski unsur matematikanya cukup dominan dan bisa dibilang bukan level matematika yang sederhana, bagi calon pembaca yang kurang suka matematika tak perlu khawatir karena unsur tersebut disajikan dengan cara yang mudah dipahami. Lagi pula tak hanya itu  saja yang membuat novel ini berbobot. Bumbu pendidikan, keluarga, persahabatan dan asmara juga membuatnya makin lengkap tanpa menjadikannya sebagai novel berat.

*Recommended untuk cerita teenlit yang jauh dari kata kekanakan : https://www.goodreads.com/review/show/2258346873


UPDATE:
Review ini diiuktsertakan dalam salah satu event GPU dan menjadi salah satu dari tiga pemenangnya :)