Senin, 19 Februari 2018

Akan Selalu Ada Pengecualian dalam Tiap Hal - Review “City Lite: Dirt on My Boots”



Judul               : City Lite: Dirt on My Boots
Penulis             : Titi Sanaria
Editor              : Dion Rahman
Penerbit           : Elex Media Komputindo
Terbit               : September 2017 (cetakan pertama)
ISBN               : 978-62-04-4723-0
Tebal               : 300 hlm

Blurb:
Entah ini kutukan atau anugerah, tapi ada banyak laki-laki tampan di kantorku.
Bos besarku masih menawan di usianya yang sudah enam puluhan, namun tentu saja dia bukan pilihan potensial. Aku mencari kekasih, bukan ayah angkat. Lalu Pak Freddy, laki-laki paling tampan di kantor. Dia punya senyum maut yang sayangnya hanya diperuntukkan istrinya. Masih ada pria yang tidak kalah tampan di divisiku lho, dan mereka lajang!
Hore...? tidak juga.
Putra lebih muda dariku, tapi menjalin cinta dengan berondong tidak ada di daftarku. Sandro lebih tua, tapi aku tak menemukan ada aliran listrik yang tiba-tiba membentuk koloni, bersarang, dan mendadak mengepak bersamaan di perutku.
Lalu Pak Andra, bos baru di kantorku dengan bokong terindah di dunia. Ya, dia potensial. Tampan dan pintar, dua keunggulan yang hanya dimiliki satu dari seribu laki-laki di dunia. Barangkali masalahnya ada pada diriku. Aku jelas bukan calon potensial baginya. Aku tidak memiliki apa yang diharapkan olehnya, atau lelaki lainnya di dunia ini. you know what i mean–sesuatu yang besar di bagian tubuhmu. Tapi yang jadi masalah, seharusnya sejak awal aku tahu kalau dia tidak mempercayai komitmen.
Kebingunganku semakin berlimpah-ruah, ketika suatu pagi aku terbangun di sebuah ranjang dan mendapati sosoknya berada di sampingku. Semenjak itu pikiranku kian terusik. Apa yang sudah kulakukan dengan bosku? Atau, tepatnya, apa yang telah bosku lakukan kepadaku?
****
Dirt on My Boots merupakan dobrakan kebiasaan Titi Sanaria yang lazimnya menulis dengan gaya mellow. Karya ini mulanya diposting di Wattpad hingga kemudian berakhir di meja redaksi Elex Media karena hasutan seseorang (yang penasaran bisa baca sendiri di bagian prakata dari penulis). Karena berlabel ‘Novel Dewasa’, saya sempat dilema antara ingin baca lantaran terpikat quote yang diposting salah satu teman blogger dan gak ingin baca karena ya– kalian taulah,,, *saya tipe pembaca yang sok lugu jadi agak malu-malu gitu meski umur sudah memenuhi syarat, hehe.
Dibuka dengan dialog ‘seberani’ itu, pasti udah kebayang bakal kaya apa perbincangan-perbincangan yang disuguhkan bukan? Yups! Konten-konten ‘nakal’ memang menjamur di novel satu ini. Tapi tenang, bisa dibilang kenakalan-kenakalan itu hanya berupa tell, not show. Lagi pula meski cakapannya rada vulgar, tapi penulis berhasil membalutnya dengan bahasa elegan yang seringnya malah bikin ngakak. Tapi ini pendapat pribadi sih, habisnya sampe sekarang saya saja masih bingung bedanya konten dewasa dengan konten porno.
Owh ya! Seperti yang saya sebutkan tadi, karena novel ini bertabur konten nakal jadi mungkin akan banyak istilah yang asing bagi pembaca yang masih lugu ataupun pembaca-pembaca alim –saya bukan termasuk keduanya sih, cuma kadang sok polos aja. hehe–. Saya sendiri kadang menebak-nebak atau kalo bener-bener penasaran ya googling. Sedikit cerita nih: untuk istilah ML sebenernya udah kenal lama tapi gak pernah bener-bener nyari artinya, dan baru-baru ini akhirnya saya tahu bahwa kepanjangan ML = Making Love (bercinta). So, jangan kaget kalo harus menerjemahkan/mengarang bebas pas ketemu kata-kata unfamiliar karena nggak akan ada catatan kaki yang ngasih penjelasan.
Oke! Kembali ke topik. Arti harfiah Dirt on My Boots yakni Kotoran di Sepatu Bot Saya. Kenapa saya singgung? Karena beberapa waktu lalu saya menemukan komentar salah seorang pembaca yang masih nggak ngeh antara judul dengan isi novelnya. Saya sendiri masih kurang yakin analisis saya benar atau salah. Tapi yang saya tangkap, ungkapan yang dijadikan sebagai judul itu juga bisa ditafsirkan ‘suatu kemalangan/kesialan’. Sehingga benang merah keduanya adalah karena novel ini menceritakan kemalangan-kemalangan Sita berkat mulutnya yang kekurangan filter terutama ketika berkaitan dengan Pak Andra (bos barunya). Mulai dari ketahuan menggosipkan Pak Andra bersama geng mesum kantor –yang tentu saja jauh dari bahasan normal (percakapan kurang wajar untuk didengar di kantor)– sampai kebohongan-kebohongan kreatif yang sialnya selalu saja jadi bumerang.
Sebentar, apakah aku baru saja memaki lagi?
Astaga, tumpukan dosaku rasanya semakin menggunung.
Makian, bacaan, dan tontonan porno.
Aku benar-benar sudah tidak tertolong.
–hal 2–
Dari awal, suara tokoh Sita ini emang menonjol. Ngakak ngikutin jalan pikiran nih anak. Sok-sokan ‘perpengalaman’ padahal masih perawan, belum lagi tanggapan-tanggapan blak-blakan dan penuh satire kalo dia gak suka sama sesuatu. Sayang, di bagian-bagian akhir aku merasa suaranya kian melemah.
Percakapan Sita dan gerombolan mesum sekilas menyiratkan dia bukan tipe orang yang berfikiran kolot. Maksudku bukan pada konteks dia yang sebenarnya memegang teguh pendirian having sex after married. Melainkan pandangan Sita yang menjadi terkesan ‘berjarak’ kepada para pelaku one-night stand padahal di awal-awal Sita tampaknya cukup setuju bahwa cara hidup itu udah pilihan masing-masing orang, kita nggak berhak menghakimi. Apalagi having sex-nya mereka (pelaku one-night stand) dilakukan secara sadar. Kalo kata Putra mah, ‘ML bareng, enaknya bareng’.
Masing-masing karakter gerombolan mesum kantor sebenarnya gak kalah mencuri perhatian, gak ada mereka gak akan rame. Tapi tokoh favoritku tetep Kak Gian. Sumpah, bikin ngiri sama perhatiannya ke Sita. Kadang berasa nyesek pas nyadar kalo komentarnya sekadar sebagai ‘kompor’. Hatiku langsung meleleh tiap kali dia nyebut ‘Dek,’. *Huaaa baper moment!
Sebagai salah satu cerita yang mengangkat romance office, kurasa “Dirt on My Boots” sudah berhasil membawakannya dengan sangat apik. Bisa tengok sendiri kejelian detail nuansa kantor, strata, dan job-job yang harus dikerjakan beserta halang-rintangnya.
Kendala membaca “Dirt on My Boots” selain yang sempat kusinggung di atas adalah nama tokoh-tokohnya yang hampir mirip: Freddy-Fendy (alias Pak Andra), Bara-Andra-Putra-Sandro-Marco, Sita-Raisa. Atau mungkin ini cuma perasaan saya? Entahlah,,,
Btw, perjalanan menuju endingnya sedikit kurang greget. Bingung ngungkapinnya, yang jelas terasa kurang nendang aja. Mungkin karena ada konflik yang harusnya bisa lebih di-explore, atau redaksi apapun yang sejenisnya.
Untuk fisiknya: pertama aku suka banget sama cover-nya., eye catching! Sayangnya meski mataku masih normal aku jelas lebih memilih kalo ada ukuran font yang lebih besar (maksudku ukuran font di blurb dan dalam novel). Dan satu lagi, saya mendapati tinta dalam isi novel yang gak merata. Entah ini terjadi pada semua terbitan atau hanya beberapa eksemplar yang kurang beruntung. Tapi tetap termaafkan karena masih bisa dibaca.
(sebenernya mau buktiin, tapi pas difoto jadi gak jelas bedanya)

Secara keseluruhan ini cerita yang kocak dengan konflik ringan serta gaya bahasa yang renyah. Cocok buat kalian yang bisa berpikiran terbuka serta dewasa. Kalian juga harus maklum saat menemukan tokoh dengan suatu pendirian yang akhirnya lentur, karena sadar atau tidak sadar akan selalu ada pengecualian dalam tiap hal.
Gue tahun lalu: cinta sejati itu omong kosong.
Gue sekarang: cinta itu adalah seraut wajah yang membuat hati bahagia saat menatapnya, gelak yang meluruhkan kepenatan seberat apa pun di penghujung hari, dan perasaan nyaman seperti pulang ke rumah setelah berpetualang saat memeluk tubuh yang menyambutmu dengan sukacita.
–hal 288-291–

Kamis, 08 Februari 2018

Menjadi Penyayang Tanpa Syarat - Review "Carlos" karya Erin Cipta

Dok Pribadi
Identifikasi Buku
Judul Buku      : Carlos
Penulis             : Erin Cipta
Penerbit           : DIVA Press
Cetakan           : I/ Februari 2017
Halaman          : 152
ISBN               : 978-602-391-366-4
Peresensi         : Desita Wahyuningtias

Apa yang membuat kita ragu akan sesuatu terkadang karena ketidakyakinan bahwa kita mampu. Kekurangan-kekurangan kita menjadi tembok pembatas yang kita ciptakan sendiri. Bagaimana dengan kasih sayang? Apakah kita harus menjadi layak terlebih dahulu untuk menerima kasih sayang? Ataukah kita harus menjadi mampu terlebih dahulu untuk memberi kasih sayang?
Erin Cipta lewat novelnya yang berjudul Carlos membuktikan bahwa kasih sayang tidak bersyarat. Bahwa kasih sayang tidak hanya hinggap untuk orang yang layak dan tidak hanya mampu diberikan oleh orang yang sempurna tanpa celah.
Novel Carlos bercerita tentang persahabatan Ye Feng, seorang lelaki istimewa dengan seekor Anjing dari ras Akita Inu. Ye Feng sudah mengadopsi Carlos dari selter penampungan sementara binatang terlantar sejak usianya yang ke-13. Meski dengan segala keterbatasannya sebagai pengidap down syndrom, Ye Feng terbukti mampu menyayangi Carlos sebagai bagian dari keluarganya.
Perpaduan Ye Feng yang terjebak dalam alam pikir anak-anak dan Carlos si anjing lincah menjadi begitu serasi. Mereka sering menghabiskan waktu untuk sekadar bermain-main. Meski tingkah keduanya sering menimbulkan kehebohan, tapi kehebohan mereka selalu berhasil menerbitkan senyum siapa saja yang melihatnya. Bukan jenis kehebohan yang menyebalkan.
Mereka adalah cinta. Cinta tanpa syarat yang menebarkan kebahagiaan bukan saja untuk mereka berdua, malainkan juga pada orang-orang di sekitarnya.
-halaman 52-
Ye Feng juga tak segan-segan menunjukkan kepeduliannya dengan membuat sendiri makanan untuk Carlos dengan resep yang diajarkan oleh ayahnya, Wu Mao Ching. Jika memungkinkan, ia sendiri yang akan memandikan, mengajak jalan-jalan atau perlakuan apapun yang sekiranya dibutuhkan Carlos. Hampir sebagian besar waktunya ia habiskan dengan Carlos. Bahkan ketika anjing itu mulai sakit-sakitan menunggu batas kehidupannya berakhir, Ye Feng tetap melakukan yang terbaik untuk peliharaan, sahabat sekaligus keluarganya itu.
Ketulusan cinta kasih sebagai seorang penyayang tak hanya ditunjukkan Ye Feng kepada Carlos, melainkan hampir seluruh tokoh dalam novel tersebut seperti Keluarga Ye Feng yang begitu sayang kepadanya tanpa pernah kecewa akan kondisinya, murid-murid Ye Feng yang juga pengidap down syndrom, serta tokoh-tokoh lain yang ikut tertular semangat cinta Ye Feng termasuk Carlos sendiri.
Tapi tetap saja, prosedur yang ditawarkan dunia nyata tidak semuanya berangkat dari kasih sayang yang bisa menyetarakan hewan dengan manusia. Jadi ketika usulan mengenai Eutanasia berembus, konflik semakin mengeruh. Untunglah pada akhirnya semua itu bisa terselesaikan dengan damai. Penyelesaian yang mampu menghapus rasa kebencian.
Selain pembahasan akan cinta kasih yang menonjol, kita juga bisa menemukan beragam fakta unik berkaitan dengan Taiwan. Bagaimana hubungan masyarakat dengan hewan peliharaan khususnya anjing, bagaimana sikap masyarakat dan pemerintah menghadapi badai Soudelor, bagaimana perlakuan dan posisi pengidap down syndrom di mata masyarakat, hingga hubungan antar TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Taiwan.
Membaca novel ini seperti merekonstruksi hati. Belajar menerima satu paket individu lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya. Belajar mementingkan tindakan penyelesaian dari pada mengeluhkan keadaan. Belajar mengusahakan tanpa henti sekaligus merelakan yang telah terhenti. Mengajak kita menjadi penyayang tanpa syarat dan memperlakukan cinta dengan selayaknya.
Cinta yang tak pernah usai karena pemiliknya rajin memupuk dan menyiraminya, hingga ia tumbuh, beranak-pinak, dan menyebar pada makhluk-makhluk di sekelilingnya.
-halaman 149-


*selesai ditulis sejak 02/06/2017, karena satu dan lain hal akhirnya baru bisa diposting sekarang