Senin, 23 Oktober 2017

Mencintailah karena Ingin! Resensi “Test Pack” karya Ninit Yunita



Cover Cetakan Pertama
Cover Cetakan Ke-14
Cover Cetakan Ke-16

Judul               : Test Pack
Penulis             : Ninit Yunita
Editor              : FX Rudy Gunawan
Penerbit           : GagasMedia
Tahun terbit     : 2013 (cetakan keenam belas)
ISBN               : 979-3600-96-9
Tebal               : xiv + 202 hlm
Ukuran                        : 13 x 19 cm
Harga normal  : Rp 39.500,-
Blurb
SEBAGIAN dari kita mungkin ada yang mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar, even karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dahulu, atau mendadak miskin.
Will you still love them, then?
That’s why you need commitment.
Don’t love someone because of what/ how/ who they are.
From now on, start loving someone,
because you want to.
****
Test pack diterbitkan pertama kali pada tahun 2005 dan telah diadaptasi menjadi film pada tahun 2012. Novel dengan genre chicklit romance atau tepatnya masuk dalam sub-genre domestic drama ini adalah karya kedua Ninit setelah “Kok Putusin Gue” yang diterbitkan pada tahun 2004 oleh penerbit yang sama dan juga telah diadaptasi menjadi film pada tahun 2015 yang lalu.
Test pack menceritakan tentang perjuangan pasangan suami-isteri, Rahmat Natadiningrat dan Arista Natadiningrat dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk mencari makna pernikahan yang sesungguhnya.
Pertanyaan pertama yang keluar dari mulur Riska.
Bukan apa kabar.
Bukan berapa gelar yang berjajar di belakang namanya.
Not whether she colleccts diamond or not.
Not whether her bag is the real Prada or the fake one.
She didn’t ask me anything else but,
“Anakmu sudah berapa, Ta?”
-halaman 25-
Arista atau biasa dipanggil Tata sangat sensitif jika membahas hal yang berkaitan tentang anak. Usia pernikahannya sudah berumur lebih dari tujuh tahun, tapi belum pernah ada tanda-tanda bahwa ia hamil. Bahkan semenjak dua tahun terakhir, Tata selalu melakukan tes kehamilan pribadi lebih dari sekali dalam sebulan hingga tanpa sadar test pack menjadi semacam barang koleksi. Dari harga termurah sampai harga termahal atau dari yang bentuknya biasa saja sampai yang berbentuk lucu sudah Tata punya. Hanya tinggal test pack bergaris dua yang belum bisa ia miliki.
Dengan dukungan dari sang suami, berbagai cara telah mereka coba. Mulai dari banyak makan tauge, mengurangi kebiasaan merokok, mengganti kebiasaan minum kopi dengan mint tea, hingga melakukan posisi sujud setelah proses penyerbukan dan lain sebagainya. Sayangnya belum ada yang berhasil.
Hingga akhirnya mereka memberanikan diri untuk meminta bantuan ahli medis. Ketakutan mereka menjadi nyata. Rasa cinta yang dulu membuat mereka memutuskan untuk menikah mulai diuji. Beberapa kesalahpahaman juga ikut memperkeruh keadaan. Pada titik inilah peran komitmen benar-benar dibutuhkan.
****
Sosok Tata digambarkan sebagai seorang pengacara yang sering menangani kasus perceraian. Menginjak usia ke-32 tahun, keinginannya untuk segera memberikan keturunan kepada suaminnya semakin besar.
Gua sayang banget sama Kakang. That’s why i want to give him a baby.
-halaman 5-
Persiapan Tata untuk menjadi seorang ibu sangat luar biasa. Buku-buka tentang kehamilan sering ia baca, musik-musik klasik yang dipercaya mampu meningkatkan kinerja otak bayi telah lengkap ia koleksi, bahkan beberapa atribut untuk buah hati telah ia siapkan dalam sebuh kamar khusus tanpa sepengetahuan suaminya. Akhirnya, lambat laun keinginan itu berubah menjadi obsesi yang membuatnya tertekan, sedih bahkan stress. Rahmat yang tidak tega melihat isterinya menangis setiap kali menonton film dokumentasi tentang kehamilan berusaha terlihat tidak terlalu peduli jika isterinya belum kunjung hamil. Sering kali ia menyampaikan kepada Tata bahwa memiliki anak bukanlah prioritasnya.
I know how much you love me. You don’t have to get pregnant to say it.
-halaman 83-
Sayang, hal ini justru ditangkap negatif oleh Tata.
Doesn’t he want a baby from me?
-halaman 54-
Rahmat sendiri merupakan seorang dosen sekaligus psikolog yang berupaya menyelamatkan rumah tangga para kliennya. Usia Rahmat sebaya dengan Tata. Meski begitu karena terbiasa memberikan solusi kepada kliennya, Rahmat cenderung lebih dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan rumah tangga. Rahmat nyaris menjadi sosok suami yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Untungnya penulis tidak lupa menjadikannya lebih manusiawi dengan memberi beberapa kelemahan. Salah satunya ketika ia tidak berani jujur kepada Tata yang mengakibatkan Tata merasa dikhianati.
Selain karena pemberian sifat positif dan negatif, detail terkait agama, hobi, kebiasaan, masa lalu dan sebagainya membuat karakter terasa hidup. Penulis berhasil menjadikannya sebagai elemen penguat menuju konflik cerita.
****
Test pack menggunakan alur maju dengan sudut pandang orang pertama pelaku utama secara bergantian per bab antara sudut pandang Tata dan sudut pandang Rahmat. Meski keduanya sama-sama menggunakan campur kode antara bahasa Indonesia (baik bahasa baku maupun bahasa gaul) , Sunda dan Inggris, tetapi sangat mudah untuk membedakannya. Hal ini karena penulis memakai kata ‘gua’ untuk sudut pandang Tata, sedangkan untuk sudut pandang Rahmat penulis memakai kata ‘gue’ dan hal ini konsisten dari awal sampai akhir.
Penggunaan ketiga bahasa ini rasanya juga sesuai dengan tingkat pendidikan, bidang studi, lingkungan kerja yang metropolis serta lingkungan tempat tinggal yang berada di daerah Bekasi. Kelemahannya, bagi yang kurang menguasai bahasa Sunda dan Inggris terpaksa harus menerka-nerka atau mencari artinya di kamus karena hanya tersedia satu catatan kaki berupa terjemahan dari dialog dalam bahasa Sunda, sisanya tebak sendiri.
****
Ini kali pertama saya membaca karya Ninit Yunita. Meski endingnya bisa ditebak, tetapi saya puas dengan caranya mengeksekusi cerita. Tidak ada bagian yang keluar dari benang merah cerita. Bahasanya ringan dan mengena. Penyampaian lewat tulisan Tata (semacam diary), kutipan lagu maupun pesan email mampu menambah warna cerita. Pilihan untuk tidak menyertakan daftar isi dan langsung menyuguhkan bab demi bab dengan judul dan sub-judul yang unik juga menjadi daya tarik tersendiri.
Chemistry dua tokoh utamanya bikin geregetan. Pembahasan mengenai interaksi yang sering dianggap tabu untuk dibahas berhasil Ninit sampaikan secara kocak sekaligus bermartabat yang mengingatkan kita akan pelajaran biologi semasa sekolah. Beragam humor yang bertebaran sanggup memaksa pembaca khususnya saya untuk menyunggingkan senyum. Berikut contoh humor yang tersaji dalam cerita:
Ketika Tata menyarankan mengadopsi anak untuk pancingan agar cepat hamil, Rahmat menanggapinya dengan pernyataan yang cukup unik.
“Pancingan? We’re talking about starting a family here, Neng. Not fishing.”
-halaman 9-
Atau ketika Juki, sahabat Rahmat bertanya bagaimana jika Tata benar-benar infertile yang kemudian dijawab Rahmat yang intinya ia akan memilih untuk mempertahankan isterinya. Juki melingkarkan lengannya ke bahu Rahmat dan Rahmat berkomentar lewat sudut pandang orang pertama pelaku utama.
And...
For your information, we weren’t a gay coyple.
-halaman 62-
Selain dari kisah Tata dan Rahmat, ada pula adegan terkait keluarga yang tak kalah menyentuh atau lebih tepatnya memukul logika para tulang punggung keluarga yaitu ketika Rahmat mempertanyakan permasalahan Bapak Sutoyo yang tidak pernah punya waktu untuk keluarga karena disibukkan dengan rutinitas kerja hingga anaknya yang bernama Hendro akhirnya memilih nge-drugs.
“Apakah menurut Bapak, isteri dan anak Bapak punya tuntutan tinggi sehingga Bapak harus bekerja begitu keras?”
-halaman 30-
Kelemahan novel ini sendiri selain yang sempat saya singgung terkait ending yang mudah ditebak atau pemakaian bahasa, yaitu adanya dialog yang tidak berhasil saya pahami pada baris ke-6 hingga ke-7 halaman 61:
“Yah, enak nggak enak lah. Eh Ki, lu masih punya rokok? Sorry yang gue abis nih.”
Kata ‘yang’ pada kalimat terakhir  menjadi rancu apakah merupakan sebuah kata penghubung atau mengacu pada penyebutan sesuatu. Mungkin akan lebih baik jika diganti dengan kata 'milik'.

Untuk keseluruhan, saya memberikan empat bintang untuk novel ini dan sangat merekomendasikan untuk yang mau menikah ataupun yang sudah menikah serta untuk calon ayah dan calon ibu. Akan ada banyak pelajaran yang bisa diambil tanpa kita merasa diceramahi atau digurui. Happy reading!

Rabu, 09 Agustus 2017

Resensi “Merantau ke Deli” Karya Buya Hamka

Judul                           : Merantau ke Deli
Penulis                         : Prof. Dr. Hamka
Penerbit                       : Bulan Bintang
Tahun Terbit                : 1977
Jumlah Halaman          : x + 194
Peresensi                     : Desita W.
Asal Buku                   : @indgiveaway

Novel ini mengisahkan tentang Poniem, kuli kontrak keturunan Jawa (merangkap sebagai gundik seorang mandor besar perkebunan di Deli) yang diambil isteri oleh pemuda Minangkabau bernama Leman.

“... Saya memang mau kawin dengan Abang, tetapi bukan karena percintaan, bukan karena hawa nafsu, tetapi hendak meminta perlindungan bagi diri saya yang lemah.
Bila kami perempuan Jawa telah bersuami, maka badan dan jiwa, harta benda, lahir batin dunia akhirat kami serahkan. Celakalah laki-laki yang menyia-nyiakan penyerahan itu!”
-halaman 17-

Setelah menikah dalam perantauan, mereka merintis usaha perdagangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Saat sudah cukup sukses, dibawalah Poniem mengunjungi tanah Minang. Perangai Poniem yang santun membuatnya diterima cukup baik. Sayang, pemikiran masyarakat yang masih kolot terkait pelaksanaan adat akhirnya menjadi riak di tengah rumah tangga keduanya.

Leman yang jiwa mudanya masih bergejolak termakan bujukan kaum kerabat untuk mengambil seorang lagi sebagai isteri dari sesama anak Minang tanpa mempertimbangkannya lebih serius lagi.

“Di mana tumbuh, di waktu itulah disiangi! Habis perkara!”
-halaman 70-

Berkat kelihaian isteri kedua (Mariatun) dalam mengambil hati, Leman yang tadinya berusaha membagi cintanya dengan adil akhirnya menjadi berat sebelah. Kecemburuan telah bermetamorfosis menjadi virus bagi orang-orang waras yang jatuh cinta.

“Poniem telah tahu perbuatan Mariatun itu salah. Tetapi lantaran tidak mau kalah,
lantaran hendak meminta persamaan hak, dia tidak peduli kesalahan kawannya melainkan dia ikut pula membuat kesalahan sebuah lagi...”
-halaman 129-
[saya curiga, praktik menyontek juga dipicu pemikiran semacam ini, hehe]

Pertengkaran-pertengkaran kecil menyulut pertengkaran yang lebih besar. Hingga puncaknya, Leman menjatuhkan talak tiga pada Poniem. Terbuktilah, janji-janji yang pernah terlontar dari mulut Leman tinggallah kata-kata kosong [kamu akan paham maksud saya kalau sudah baca sendiri novel ini].

Setelah peristiwa nahas itu, baik Leman maupun Poniem sama-sama menjalani kehidupan masing-masing. Roda hidup meletakkan mereka pada titik yang berbeda. Dibandingkan karma, apa yang kemudian hari menghampiri mereka lebih terkait pada cara mereka mengambil sikap.

Karena tokoh-tokoh inti dalam novel ini sama-sama diberi porsi kejahatan dan kebaikan selayaknya manusia pada umumnya, jadi endingnya juga berbobot. Cerminan kedewasaan.
****

Saya bukan pembaca yang anti dengan novel-novel klasik tetapi juga bukan penggemar novel semacam itu. Jadi seperti pembaca awam pada umumnya, saya aras-arasen untuk mulai membaca lembar pertama hingga setelahnya jadi sulit berhenti setelah memasuki bab III.

Salah satu pemicunya adalah bertaburnya kritikan yang menurut saya cukup pedas (maklumlah, pecinta debat). Entah kritikan untuk orang-orang beragama, orang-orang beradat (yang banyak dibahas sih adat Minangkabau), maupun masyarakat Indonesia pada umumnya.

“... Dosa tak boleh ditimpakan kepada mereka yang jadi korban itu saja.
Karena ini [menjual diri] adalah suatu penyakit masyarakat yang lebih patut diratapi dari pada dikutuki.”
-halaman 20-

Sekilas info, karya ini diterbitkannya dalam bentuk buku untuk pertama kali pada tahun 1941 sehingga di dalamnya bau nasionalisme sudah mulai tercium.

“... Mereka telah masuk ke dalam masyarakat baru, masyarakat Deli yang terhimpun dari berbagai suku dari segenap daerah Indonesia, untuk kelak melahirkan keturunan baru,
anak Indonesia yang sejati.”
-halaman 170-

Ada pula komentar yang masih cukup relevan untuk menggambarkan Indonesia saat ini.

“... Adat lama telah goyah dan adat baru belum tegak.”
-halaman 178-

Tentu saja frasa sebelumnya perlu disesuaikan.
Kampung halaman → tanah air.
Jalan ke rantau → globalisasi atau modernisasi.

Dua tokoh sampingan yang pemikirannya saya kagumi adalah sebagai berikut:
1.      Bagindo Kayo

“... Dia merasa nikmat dalam kehinaannya!
Apakah engkau sanggup menjaga kenikmatannya di dalam kemuliaannya?”
-halaman 25-

“Kalau memang engkau cinta kepada perempuan yang melarat itu yang hanya engkau ibarat seutas tali tempatnya bergantung, hanya engkau ayah-ibunya, engkau hanya familinya, tentu dia tidak akan engkau duakan dengan yang lain, tentu hatinya tidak akan engkau tikam.”
-halaman 74-

2.      Toke Abdullah

“Sudah banyak negeri yang saya jejak, sebab itu faham saya sudah lebih luas. Buat saya, seluruh tanah Indonesia ini adalah tanah air saya, tidak berbeda, dan di mana saya diberi anugerah oleh Tuhan, haruslah anugerah itu saya syukuri.”
-halaman 165-

Sama isi beda kemasan, jangkauannya saya perlebar lagi jadi gini:

“Semesta adalah tanah air saya. Maka tak sepantasnya membanding-bandingkan negeri dan mengkotak-kotakkannya dengan stempel adat setempat.”

Sedikit-banyak terpengaruh “Supernova”-nya Dee. Peace ya! Saya gak bermaksud ingin melepaskan diri dari Indonesia kok  >_*

Selain suka dengan pilihan kata yang digunakan, saya juga menyukai ending “Merantau ke Deli” dibandingkan beberapa karya Hamka yang sudah lebih dahulu saya ketahui.

Sementara itu kelemahan novel ini: selain cukup banyaknya typo, saya juga kurang paham dengan beberapa istilah belanda yang tidak disertai keterangan. Yang tidak pernah bersentuhan dengan istilah bahasa Jawa ataupun Minang juga mungkin ada beberapa hal yang nantinya sulit dicerna. Tapi tenang, kalo kamu baca dengan seksama pasti tertebaklah maksudnya karena porsinya juga tidak banyak. Over all, ini roman klasik yang patut dipertimbangkan sebagai bacaanmu.

Senin, 20 Maret 2017

[REVIEW] DAMN! IT'S YOU! BY PELANGI TRI SAKI


33621114

Judul       : Damn! It's You!
Penulis   : Pelangi Tri Saki
Editor     : Ruth Pricilla Angelina
Ilustrator : Rio Febrianto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit     : Januari 2017
Tebal      : 232 halaman
Harga      : Rp 58.000
ISBN        : 978-602-03-3661-9

Satu kali pertemuan. Sebatas kebetulankah?
Dua kali pertemuan. Tidakkah itu cukup menarik?
Tiga kali pertemuan. Bolehkan disebut takdir?

Damn! It’s you! merupakan novel kedua dari seri You karya Pelangi Tri Saki (aku dapet buku ini dari giveaway di peekthebook). Meski aku belum membaca seri pertamanya, tapi aku tetap bisa mengikuti ceritanya karena hubungan kedua seri tersebut hanya sebatas para tokohnya yang saling mengenal. Jadi buat kalian yang senasib [belum baca Hey You!] enggak perlu khawatir,,,

Diprakarsai oleh tiga pertemuan yang di luar batas kewajaran, sebuah kesepakatan akhirnya menjadi penghubung kisah asmara antara Nigi si cewek yang baru patah hati dan memiliki emosi yang meledak-ledak dengan Saba si cowok muka datar yang suka ngomong seenak jidat tapi tetep ngegemesin.

“Pertemuan adalah awal dari banyak kemungkinan dan bertemu denganmu adalah kemungkinan yang tidak pernah kuprediksi.”
-Halaman 9-

Demi bisa berinteraksi dengan Nigi –gadis yang ia temui untuk yang ketiga kalinya, Saba melemparkan bola basket ke kepala Nigi. Nigi yang tidak terima meminta cowok itu untuk meminta maaf. Bukannya mengiyakan, Saba justru menantang Nigi untuk taruhan. Akibatnya Nigi harus pindah ke SMA Atlanta karena tidak bisa memenangkan taruhannya dengan Saba.

Tidak bisa membiarkan Nigi begitu saja, Saba terus mendekati Nigi. Tapi setelah hati Nigi tergerak, Saba justru menjauh bersama misteri-misteri yang masih menyelimutinya.

“Lo nggak bisa bilang Saba nyembunyiin sesuatu kalau dari awal dia memang nggak berniat membukanya ke orang lain, Gi. Itu haknya dan nggak ada hubungannya sama lo. Atau lo sekarang merasa dia ada hubungannya sama lo, jadi lo merasa berhak tahu?”
-Halaman 79-

Dengan sudut pandang orang ketiga, penulis berhasil membawakan kisah ini secara ringan. Apalagi dengan bertaburnya percakapan-percakapan segar, novel teenlit ini mampu membius pembaca membalik lembar demi lembar tanpa sadar. Selain berkisar pada kisah cinta, di novel ini juga banyak dibumbui kisah persahabatan dan kekeluargaan.

“Seseorang yang membuat lo lemah itu tandanya dia berharga buat lo. Begitupun sebaliknya. Seseorang yang membuat lo kuat juga tandanya dia berarti buat lo.”
-Halaman 115-

Yang paling aku suka dari novel ini adalah interaksi antara Saba dan Rei –sepupunya. Rei begitu perhatian dan selalu ada buat Saba. Yah, meski kadang tingkah Saba yang cukup sulit diprediksi sering membuat Rei stress tapi tetep aja Rei selalu mendukung sepupunya itu.

Hubungan antara Nigi dan Noel –kembarannya juga nggak bisa disepelein, kedekatan mereka udah sampai pada taraf tidak bisa membohongi satu sama lain. Noel sempet jadi karakter yang paling bijak menurutku, tapi kisah pribadinya yang sedikit disinggung dalam bagian ending novel ini berhasil mengubah imejnya. [kesel!]

Kekurangan dari novel ini berdasarkan versiku adalah Nigi sebagai tokoh utama enggak berhasil menarik simpatiku. Entahlah apa yang salah, rasanya kurang greget aja. Mungkin karena aku enggak menemukan perubahan yang cukup berarti antara Nigi remaja sebelum ketemu Saba, Nigi remaja setelah ketemu Saba ataupun Nigi dewasa. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi Nigi juga terkesan simple, hanya seputar masalah hatinya yang sering galau. Kekurangan lain yakni berkaitan dengan masalah teknis, terdapat banyak typo yang cukup mengganggu.

Nigi mengatupkan bibir, berfikir pernyataan saba tadi benarnya.
-baris 15-16 halaman 70-
Kalimatnya agak janggal, mungkin jika ditambahkan kata ‘ada’ sebelum kata ‘benarnya’ jadi berterima.

Noel muncul di dengan tangan penuh camilan.
-baris 9 halaman 99-
Jika kata ‘di’ dihilangkan, harusnya tidak jadi masalah.

Saba tampak berbeda malam ini. biasanya cowk itu bicara...
-baris 23 halaman 99-
Pada kata ‘cowok’, hutuf o yang kedua hilang.

Nigi menarik Saba menjauh dari kerumunan dengan kasar, membawanya ke taman belakang ya sepi.
-baris 20-21 halaman 105-
Kata ‘ya’ mungkin maksudnya adalah kata ‘yang’.

“Terlalu banyak berhadap dari lo.”
-baris 10-11 halaman 106-
Mungkin maksudnya bukan ‘berhadap’ melainkan ‘berharap’.

..., ia langsung teringatan pembicaraannya...
-baris 24 halaman 115-
Akan lebih nyaman dibaca jika ‘teringatan’ diganti ‘teringat’ atau ‘teringat akan’.

Pada halaman 55 baris 4, Nigi memanggil dirinya dengan ‘Nigi’ tapi di baris 16 halaman 113, baris 9 halaman 120, baris 22 halaman 139, baris 16 halaman 190 dan baris 6-7 halaman 196 Nigi dan mamanya memanggil Nigi dengan sebutan ‘Gigi’. Aku kurang pahan ini memang disengaja atau tidak tapi menurutku alangkah lebih baik jika diseragamkan saja.

“Padahal gue perlakukan diaseperti adik kandung gue”
-baris 9 halaman 122-
Bukankan harusnya antara kata ‘dia’ dan ‘seperti’ dipisahkan spasi?

... perempuan yang sudah sepuluh tak ia jumpai.
-baris 10 halaman 198-
Setelah kata ‘sepuluh’ mungkin akan lebih konkret ketika ditambahi satuan waktu misalnya ‘tahun’.

... bogem mentahnya pria di hadapan perempuan itu.
-baris 11 halaman 199-
Akan lebih nyaman dibaca jika sebelum kata ‘pria’ ditambahkan kata ‘kepada’.

... Devi melanjutkan kalimatnya.
-baris ke 19 halaman 202-
Terdapat kesalahan penyebutan nama tokoh. Nama tokoh yang benar ialah Deva.

... meraih perlangkapan vital sign-nya...
-baris ke 7 halaman 209-
Aku cek di kamus yang benar ‘perlengkapan’, bukan ‘perlangkapan’ seperti yang tertera di novel.


But, untuk keseluruhan novel ini bisa diperhitungkan bagi kamu yang lagi cari bacaan ringan genre teenlit. Selamat membaca dan bersiap-siaplah dikatain gila karena senyum-senyum sendiri gara-gara baper! >_<