Review
“Teka-Teki Terakhir” karya Annisa Ihsani
Judul : Teka-Teki Terakhir
Penulis : Annisa Ihsani
Editor : Ayu Yudha
Desain
sampul : EorG
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Maret 2014 (cetakan pertama)
ISBN : 978-602-03-0298-0
Tebal : 256 hlm
Ukuran : 13,5 x 20 cm
Blurb
Gosipnya,
suami-istri Maxwell penyihir. Ada juga yang bilang pasangan itu ilmuwan gila.
Tidak sedikit yang mengatakan mereka keluarga ningrat yang melarikan diri ke
Littlewood. Hanya itu yang Laura tahu tentang tetangganya tersebut.
Dia
tidak pernah menyangka kenyataan tentang mereka lebih misterius daripada yang
digosipkan. Di balik pintu rumah putih di Jalan Eddington, ada sekumpulan
teka-teki logika, paradoks membingungkan tentang tukang cukur, dan obsesi
terhadap pertanyaan matematika yang belum terpecahkan selama lebih dari tiga
abad. Terlebih lagi, Laura tidak pernah menyangka akan menjadi bagian dari
semua itu.
Tahun
1992, Laura berusia dua belas tahun, dan teka-teki terakhir mengubah hidupnya
selamanya...
****
![]() |
Cover baru Teka-Teki Terakhir |
Teka-Teki
Terakhir diterbitkan pertama kali pada tahun 2005 dan cetak ulangnya pada
Oktober 2017 silam hadir dalam balutan wajah baru. Yups! Desain cover ke-2 Teka-Teki
Terakhir inilah yang membawa @sukutangan (Putu Genta Simaoka dan Sekar
Wulandari Yogaster) dianugrahi piala Bronze oleh @PinasthikaFest pada 16
Desember 2017 lalu, tentunya selain desain sampul Contact Light mereka yang memperoleh
penghargaan serupa.
Setahu saya, Teka-Teki
Terakhir merupakan novel debutnya sang penulis. Dengan gaya bercerita yang
renyah dan mengalir serta cerita yang berbobot macam ini, saya tak keberatan
untuk mulai berburu karya Annisa Ihsani lainnya. Teka-Teki Terakhir sendiri
menceritakan kehidupan gadis berusia 12 tahun yang mulai berubah sejak ia
berinteraksi secara langsung dengan keluarga Maxwell.
Ada banyak versi yang
menceritakan tentang keanehan keluarga Maxwell sejak kepindahan mereka ke kota
kecil seperti Littlewood lima belas tahun silam. Kebiasaan mereka yang jarang
keluar rumah juga tak bisa membantu untuk membuktikan atau menyanggah gosip yang
beredar. Bahkan Laura dan Jack –tetangga kecil mereka–, sudah menyerah untuk
mencari tahu kebenaran dari cerita yang beredar.
Tapi siapa sangka,
pertemuan singkat antara Laura dan Tuan Maxwell akan membangkitkan kembali rasa
ingin tahu gadis itu. Dari sinilah lambat-laun cara berfikir Laura kecil
menjadi semakin matang. Mulai dari bagaimana ia menyikapi sesuatu yang belum
dikenal, bagaimana menyikapi pendapat orang tentang dirinya, dan masih banyak
lagi.
“Semua
orang aneh dengan caranya sendiri. Terkadang keanehanmu tidak cocok dengan
keanehan orang lain, jadi mereka menyebutmu aneh. Tapi terkadang keanehanmu cocok
dengan keanehan seseorang, dan kalian bisa berteman.” –halaman
147–
****
Selain suka dengan gaya
bertutur penulis yang sempat saya singgung di atas, saya juga suka dengan
caranya memanfaatkan setting. Meski
Littlewood dan tata letaknya itu benar ada atau tidak, banyaknya detail yang ditambahkan membuat tempat
itu benar-benar terasa nyata sekaligus hidup. Di sini setting tempat juga tidak hanya dijadikan hiasan belaka melainkan ikut
turut serta dalam permainan cerita.
Tokoh-tokoh di novel
ini juga mudah dicintai. Memang bukan tokoh serba sempurna seperti di
dongeng-dongeng, melainkan cenderung berupa tokoh abu-abu, tapi justru di situ
letak magisnya. Tokoh-tokoh itu jadi begitu realistis dengan porsi sifat
baik-buruk yang tidak berat sebelah, apalagi cara penulis menggambarkan alur
kedewasaan mereka dalam setiap tahapnya. Greget rasa simpatinya dapet bangetlah.
Laura dengan rasa ingin
tahunya, Jack dengan antusiasme impiannya, pasangan suami-istri Maxwell dengan totalitasnya,
dan tokoh-tokoh lain yang sama khasnya tentu mudah membekas dan sulit untuk
dilupakan. Bahkan Katie yang bukan termasuk tokoh favorit saya juga masih berkesan, argumennya
ketika memberikan analogi atas kemarahan Nyonya Maxwell hingga penjelasannya terdengar
begitu masuk akal rasanya masih hangat di telinga. Padahal dia berbicara pada
Laura –bukan saya–, hehe.
Owh iya, novel ini
menampilkan sosok guru yang beragam. Jadi secara insting saya langsung teringat
dengan beberapa guru saya zaman sekolah dulu.
1. Pak
Larson, ia guru [matematika] pertama yang diperkenal Laura sekaligus guru yang
memberinya angka 0 (salah satu pangkal masalah yang nantinya menjadi arus
cerita). Tokoh ini mengingatkan saya dengan guru matematika saya ketika berada
di kelas 7, yakni Pak Joko (SMP N 1 Tersono). Baik Pak Larson dan Pak Joko ini
sebenarnya guru yang cukup baik. Mereka akan dengan senang hati memberikan
pelajaran tambahan sepulang sekolah untuk murid-murid yang ‘tertinggal’. Masalahnya
kebanyakan ‘murid tertinggal’ adalah murid yang tidak menjadikan belajar
sebagai hobi, jadi tentu kebaikan mereka kadang bisa diartikan sebagai suatu
penyiksaan. ;)
2. Bu
Winter, guru matematika Laura di tahun keduanya di SMP. Sejak hari pertamanya
mengajar, beliau sudah memberi kuis untuk mengetes seberapa jauh kemampuan
murid-muridnya alih-alih sekadar perkenalan sebagaimana guru pada umumnya. Mau
tak mau tokoh ini langsung mengingatkan saya kepada Bu Rasi (SMA N 4
Pekalongan), guru fisika saya yang melakukan hal serupa. Jujur, hari itu hampir
setiap murid di kelas begitu shock. Kami
bahkan menggunjingi beliau sampai setahun ke depan. Tapi begitu memasuki kelas
11-12, kami sadar bahwa kami benar-benar bersyukur pernah diajar oleh beliau.
3. Tuan
Maxwell. Saya ingat bahwa ada suatu bagian di buku dimana Laura mengatakan tak
ada yang bisa menjelaskan matematika ‘seasyik –saya tak yakin frasa ini tepat–’
tuan Maxwell. Jadi teringat guru les matematika saya selama 3 tahun di SMP, Pak
Kus. Beliau juga jadi guru matematika ketika saya kelas 8 dan 9 di SMP N 1
Tersono, tapi saya lebih menyukai pengajarannya di tempat les. Mungkin karena
durasi waktunya lebih singkat dan murid-murid yang berpartisipasi lebih
antusias daripada di kelas pada umumnya, jadi kami akan semakin terpacu dengan
tenggat waktu dan semakin tertantang ketika menemui level soal di atas
rata-rata dari yang biasanya diajarkan di kelas. Baru beliau yang bisa membangkitkan
gairah saya untuk memecahkan soal matematika layaknya saat itu. Mungkin benar,
bahwa dalam hidup kau takkan sering bertemu dengan orang-orang yang akan punya chemistry kuat denganmu. Dan saya rasa
beliau telah menjadi salah satu di antaranya.
Untuk Guruku:
You
and Us
Hubungan kita itu terlihat sederhana
Namun sesuatu yang sederhana itu jangan dilupakan
Karena hubungan itu termasuk cinta yang manis
Tetapi ingat! Sesuatu yang manis itu kadang beracun
Meski tetap saja, itu tidak bisa dijelaskan dengan logika
Sebab rasa kan tetap sama
Jadi meski rasa itu tunggal, jangan lupakan!
Hubungan kita itu terlihat sederhana
Namun sesuatu yang sederhana itu jangan dilupakan
Karena hubungan itu termasuk cinta yang manis
Tetapi ingat! Sesuatu yang manis itu kadang beracun
Meski tetap saja, itu tidak bisa dijelaskan dengan logika
Sebab rasa kan tetap sama
Jadi meski rasa itu tunggal, jangan lupakan!
Tetaplah jadi Aseton (Keton) kami
Meski berwujud sederhana, namun
penting
Hal-hal ironis yang
memberi kesan mendalam tapi disampaikan dengan sangat apik dalam cerita menurut
versi saya:
“Aku
benci sekolah,” keluh Katie. “Mereka hanya menilai kita dari seberapa baik kita
bisa menghafal fakta-fakta.” –halaman 80–
“...,
ketika usiaku menginjak empat puluh, sudah jelas aku kehilangan semua
kreativitas dan ketajaman pikiran yang dibutuhkan untuk pekerjaanku. Dan dalam
matematika, kalau bukan yang terbaik, kau bukan siapa-siapa.”
–halaman 92–
****
Sampai akhirpun saya tak menemukan kelemahan
dalam cerita. Bahkan ending yang biasanya sering membuat pembaca kecewa
juga berhasil dieksekusi penulis dengan baik. Mungkin ini adalah sesuatu yang belum
terpuaskan jika tak bisa disebut sebagai kelemahan. Pertama, tentang Peter. Saya masih penasaran alasan dia ‘mendekati’ Laura. Sampai akhirpun misteri ini tidak
diterangkan. Kedua, saya masih penasaran dengan alur yang digunakan penulis. Seakan
Si Laura ini menceritakan pangalamannya, tapi terkadang ia menunjukkan secara
langsung cerita itu seakan-akan dia tidak terikat oleh waktu. Bukannya saya merasa
terganggu atau bagaimana, saya justru sangat tertarik dengan trik yang
digunakan penulis karena pergantian alur tersebut sangat halus hingga kadang
saya tak sadar. Hanya saja jika saya harus menganalis novel ini, mungkin saya akan
ragu untuk menuliskan jenis alur yang dipakai.
****
Meski unsur
matematikanya cukup dominan dan bisa dibilang bukan level matematika yang
sederhana, bagi calon pembaca yang kurang suka matematika tak perlu khawatir
karena unsur tersebut disajikan dengan cara yang mudah dipahami. Lagi pula tak
hanya itu saja yang membuat novel ini
berbobot. Bumbu pendidikan, keluarga, persahabatan dan asmara juga membuatnya
makin lengkap tanpa menjadikannya sebagai novel berat.
*Recommended untuk
cerita teenlit yang jauh dari kata
kekanakan : https://www.goodreads.com/review/show/2258346873
UPDATE:
Review ini diiuktsertakan dalam salah satu event GPU dan menjadi salah satu dari tiga pemenangnya :)
Aku Penasaran! Pengen beli terus baca bukunya. Kapan-kapan ke Gramedia mau deh :D
BalasHapusThanks for sharing ya mbaa
Sama-sama *^_^*
BalasHapusSmoga segera berjodoh dengan bukunya, hehe