Rabu, 09 Agustus 2017

Resensi “Merantau ke Deli” Karya Buya Hamka

Judul                           : Merantau ke Deli
Penulis                         : Prof. Dr. Hamka
Penerbit                       : Bulan Bintang
Tahun Terbit                : 1977
Jumlah Halaman          : x + 194
Peresensi                     : Desita W.
Asal Buku                   : @indgiveaway

Novel ini mengisahkan tentang Poniem, kuli kontrak keturunan Jawa (merangkap sebagai gundik seorang mandor besar perkebunan di Deli) yang diambil isteri oleh pemuda Minangkabau bernama Leman.

“... Saya memang mau kawin dengan Abang, tetapi bukan karena percintaan, bukan karena hawa nafsu, tetapi hendak meminta perlindungan bagi diri saya yang lemah.
Bila kami perempuan Jawa telah bersuami, maka badan dan jiwa, harta benda, lahir batin dunia akhirat kami serahkan. Celakalah laki-laki yang menyia-nyiakan penyerahan itu!”
-halaman 17-

Setelah menikah dalam perantauan, mereka merintis usaha perdagangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Saat sudah cukup sukses, dibawalah Poniem mengunjungi tanah Minang. Perangai Poniem yang santun membuatnya diterima cukup baik. Sayang, pemikiran masyarakat yang masih kolot terkait pelaksanaan adat akhirnya menjadi riak di tengah rumah tangga keduanya.

Leman yang jiwa mudanya masih bergejolak termakan bujukan kaum kerabat untuk mengambil seorang lagi sebagai isteri dari sesama anak Minang tanpa mempertimbangkannya lebih serius lagi.

“Di mana tumbuh, di waktu itulah disiangi! Habis perkara!”
-halaman 70-

Berkat kelihaian isteri kedua (Mariatun) dalam mengambil hati, Leman yang tadinya berusaha membagi cintanya dengan adil akhirnya menjadi berat sebelah. Kecemburuan telah bermetamorfosis menjadi virus bagi orang-orang waras yang jatuh cinta.

“Poniem telah tahu perbuatan Mariatun itu salah. Tetapi lantaran tidak mau kalah,
lantaran hendak meminta persamaan hak, dia tidak peduli kesalahan kawannya melainkan dia ikut pula membuat kesalahan sebuah lagi...”
-halaman 129-
[saya curiga, praktik menyontek juga dipicu pemikiran semacam ini, hehe]

Pertengkaran-pertengkaran kecil menyulut pertengkaran yang lebih besar. Hingga puncaknya, Leman menjatuhkan talak tiga pada Poniem. Terbuktilah, janji-janji yang pernah terlontar dari mulut Leman tinggallah kata-kata kosong [kamu akan paham maksud saya kalau sudah baca sendiri novel ini].

Setelah peristiwa nahas itu, baik Leman maupun Poniem sama-sama menjalani kehidupan masing-masing. Roda hidup meletakkan mereka pada titik yang berbeda. Dibandingkan karma, apa yang kemudian hari menghampiri mereka lebih terkait pada cara mereka mengambil sikap.

Karena tokoh-tokoh inti dalam novel ini sama-sama diberi porsi kejahatan dan kebaikan selayaknya manusia pada umumnya, jadi endingnya juga berbobot. Cerminan kedewasaan.
****

Saya bukan pembaca yang anti dengan novel-novel klasik tetapi juga bukan penggemar novel semacam itu. Jadi seperti pembaca awam pada umumnya, saya aras-arasen untuk mulai membaca lembar pertama hingga setelahnya jadi sulit berhenti setelah memasuki bab III.

Salah satu pemicunya adalah bertaburnya kritikan yang menurut saya cukup pedas (maklumlah, pecinta debat). Entah kritikan untuk orang-orang beragama, orang-orang beradat (yang banyak dibahas sih adat Minangkabau), maupun masyarakat Indonesia pada umumnya.

“... Dosa tak boleh ditimpakan kepada mereka yang jadi korban itu saja.
Karena ini [menjual diri] adalah suatu penyakit masyarakat yang lebih patut diratapi dari pada dikutuki.”
-halaman 20-

Sekilas info, karya ini diterbitkannya dalam bentuk buku untuk pertama kali pada tahun 1941 sehingga di dalamnya bau nasionalisme sudah mulai tercium.

“... Mereka telah masuk ke dalam masyarakat baru, masyarakat Deli yang terhimpun dari berbagai suku dari segenap daerah Indonesia, untuk kelak melahirkan keturunan baru,
anak Indonesia yang sejati.”
-halaman 170-

Ada pula komentar yang masih cukup relevan untuk menggambarkan Indonesia saat ini.

“... Adat lama telah goyah dan adat baru belum tegak.”
-halaman 178-

Tentu saja frasa sebelumnya perlu disesuaikan.
Kampung halaman → tanah air.
Jalan ke rantau → globalisasi atau modernisasi.

Dua tokoh sampingan yang pemikirannya saya kagumi adalah sebagai berikut:
1.      Bagindo Kayo

“... Dia merasa nikmat dalam kehinaannya!
Apakah engkau sanggup menjaga kenikmatannya di dalam kemuliaannya?”
-halaman 25-

“Kalau memang engkau cinta kepada perempuan yang melarat itu yang hanya engkau ibarat seutas tali tempatnya bergantung, hanya engkau ayah-ibunya, engkau hanya familinya, tentu dia tidak akan engkau duakan dengan yang lain, tentu hatinya tidak akan engkau tikam.”
-halaman 74-

2.      Toke Abdullah

“Sudah banyak negeri yang saya jejak, sebab itu faham saya sudah lebih luas. Buat saya, seluruh tanah Indonesia ini adalah tanah air saya, tidak berbeda, dan di mana saya diberi anugerah oleh Tuhan, haruslah anugerah itu saya syukuri.”
-halaman 165-

Sama isi beda kemasan, jangkauannya saya perlebar lagi jadi gini:

“Semesta adalah tanah air saya. Maka tak sepantasnya membanding-bandingkan negeri dan mengkotak-kotakkannya dengan stempel adat setempat.”

Sedikit-banyak terpengaruh “Supernova”-nya Dee. Peace ya! Saya gak bermaksud ingin melepaskan diri dari Indonesia kok  >_*

Selain suka dengan pilihan kata yang digunakan, saya juga menyukai ending “Merantau ke Deli” dibandingkan beberapa karya Hamka yang sudah lebih dahulu saya ketahui.

Sementara itu kelemahan novel ini: selain cukup banyaknya typo, saya juga kurang paham dengan beberapa istilah belanda yang tidak disertai keterangan. Yang tidak pernah bersentuhan dengan istilah bahasa Jawa ataupun Minang juga mungkin ada beberapa hal yang nantinya sulit dicerna. Tapi tenang, kalo kamu baca dengan seksama pasti tertebaklah maksudnya karena porsinya juga tidak banyak. Over all, ini roman klasik yang patut dipertimbangkan sebagai bacaanmu.

0 komentar:

Posting Komentar