Rabu, 22 Agustus 2018

Review The Fiil-in Boyfriend: Eksistensi yang Butuh Diakui





Judul: The Fiil-in Boyfriend
Penulis: Kasie West
Penerjemah: Orinthia Lee
Penyunting: Selsa Chintya
Penyelaras Akasara: Titish A.K.
Desain Sampul: Chyntia Yanetha
Penata Sampul: @teguhra
Penerbit: Penerbit Spring
Terbit: Cetakan ke-1, Juli 2017
Halaman: 348 halaman
ISBN: 978-602-60443-7-2

Blurb:
Saat pacar Gia, Bradley, memutuskan hubungan dengannya di tempat parkir prom, Gia harus berfikir cepat. Dia harus mencari pengganti Bredley karena harus membuktikan kepada teman-temannya bahwa Bradley memang nyata. Jadi, saat dia melihat seorang cowok keren yang sedang mengantar adiknya, Gia memohon bantuan cowok itu. Tugas cowok itu sederhana, menjadi pacar palsu Gia ̶ selama dua jam, tanpa komitmen, dan beberapa kebohongan kecil. Setelah itu, Gia bisa mencari cara untuk mendapatkan Bradley kembali.
Masalahnya, setelah prom, yang dipikirkan Gia bukanlah Bradley asli, tapi Bradley Palsu. Cowok yang bahkan namanya tidak dia ketahui. Apa Gia bisa menemukan Bradley Palsu? Jika memang mereka akhirnya bisa bertemu, apa yang harus Gia katakan?
****
Dicap sebagai pembohong oleh sahabat sendiri tentu bukan pilihan bijak di malam yang sudah dinanti-nantiakan Gia, salah seorang gadis populer di sekolah. Malam prom harusnya jadi momen terbaik untuk memamerkan Bradley, pacar yang telah ia bangga-banggakan selama dua bulan terakhir. Tapi rencana itu hancur karena Bradley tak ingin jadi ikon pelampiasan Gia untuk menunjukkan eksistensi diri di depan teman-temannya. Yah, kau bisa mengukur kedalaman cinta beserta motifnya dari kalimat yang diucapkan pasanganmu setelah lama tak bertemu.
Tergucang? Pastinya. Tapi Gia tak punya banyak waktu menikati kesedihannya. Ia perlu berfikir cepat untuk membuktikan pada sahabat-sahabatnya bahwa ia tak berbohong, bahwa Bradley benar-benar nyata. Meskipun jalan yang diambil Gia justru bisa memperburuk keadaan. Menghindari ‘label pembohong’ dengan benar-benar ‘menjadi pembohong’.
Seorang cowok yang terlihat punya waktu luang serta dirasa memenuhi standar untuk menjadi Bradley Palsu secara tak sengaja tertangkap penglihatan Gia yang masih berdiri di area parkir. Cowok itu bukan berasal dari SMA Gia, wajahnya cukup asing di daerah tersebut, terlihat cukup oke dan yang terpenting, tidak sedang menjadi pasangan prom orang lain, kriteria sempurna untuk rencana Gia yang butuh alibi meyakinkan.
Jadi setelah mengatur kesepakatan, keduanya langsung berakting sebagai pasangan dan mengakhiri adegan itu dengan cukup dramatis di samping membuatnya terlihat natural. Agar kebohongannya itu tetap jadi rahasia, berharap ia dan kawan-kawannya tak pernah lagi bertemu cowok tersebut menjadi jalan teraman. Tapi siapa sangka, hatinya jutru meminta sebaliknya. Cowok yang tidak Gia ketahui nama aslinya itu malah terus terlintas di benaknya.
Dari sini tangan takdir berkonspirasi dengan kemauan Gia, membawanya pada situasi-siatuasi yang memungkinnya mengetahui keberadaan ‘Bradley Palsu’, melakukan interaksi yang harus ia sembunyikan dari kelompoknya. Gia yang tadinya hanya memedulikan eksistensinya di mata orang lain secara perlahan akhirnya mulai bisa menghargai keberadaan orang lain di sekelilingnya.
****

 A: “Hey, Gia,”
B: “Hai. Maaf aku tidak tahu namamu.”
A: “Aku hanya pernah berada di empat kelas yang sama denganmu tiga tahun ini. Mana mungkin kau tahu aku?
-halaman 57-


Jujur, siapa sih yang tidak sakit hati karena tidak dikenali padahal kalian sudah berinteraksi dalam jangka waktu yang cukup lama? Ya, kurasa setiap orang sadar tidak sadar butuh keberadaannya diakui. Itu sebabnya akan ada ego yang terluka jika sampai hal tersebut tidak terpenuhi. Di novel ini kamu juga akan tahu bahwa menjadi pelaku atas hal tersebut juga tidak mudah. Ada rasa bersalah yang menohok kesadaran, menjadi bayang yang akan menghantui sampai kamu yakin korbanmu tidak lagi sakit hati.
 Tentu permasalahan kesadaran eksistensi ini sangat sulit diakui. Kebutuhan atas ‘pengakuan diri’ ini sering dipandang sebagai aib sehingga harus ditutup-tutupi. Dengan bangga mengatakan bahwa kita tak memerlukan legalisasi atas pencapaian apapun tapi secara refleks merasa bahagia jika mendapatkan pujian. Mungkin ini yang menjadi nafas media sosial dalam menyediakan fasilitas seperti like, komen, retweet atau sejenisnya. Di sana kita bisa memenuhi kebutuhan tersebut tanpa tanpa perlu merasa malu. 

 A: “Berapa likes yang didapat?”
B: “Hanya lima belas. Kalau tidak mendapatkan lebih dari itu, aku akan menghapusnya.”
-halaman 197-

B:”Kalau aku mengunggah foto sebatang pohon yang kulihat di dalam hutan dan tak seorang pun memberi like, apakah aku akan bertanya-tanya kalau itu sungguh terjadi?”
-halaman 198-

Terlebih jika ada yang menyadarkanmu akan hal tersebut dengan cara ekstrim (baca: blak-blakan tanpa menunjukkan rasa segan, lebih-lebih rasa bersalah). Pasti akan ada rasa menggebu-gebu untuk membantah. Dan inilah isu paling menohok di The Fiil-in Boyfriend. Meski bukan jadi konflik utama, karena bisa dilihat sendiri bahwa ini termasuk novel sweet romance ala teenlit, permasalahan sisipan ini jadi punya bobot yang cukup memberi isi pada novel.
Mungkin kamu akan jadi pendukung si B pada percakapan di atas karena usahanya dalam memberi pencerahan bahwa kita harus lepas dari ketergantungan eksistensi untuk membuatmu merasa masih hidup. Ya dia benar, aku mengakui itu. Tapi jauh di sudut hatiku, aku akan mementahkan lagi pernyataan itu dengan kembali ke halaman-halaman awal yang secara tipis menyiratkan bahwa pengakuan atas keberadaan itu merupakan suatu kebutuhan yang bisa kamu lihat di contoh sebelumnya.
Mungkin tepatnya, bukan pada persoalan pro-kontra masalah eksistensi, melainkan penyikapan akan hal tersebut. Bahwa bukan hanya keberadaan kita yang perlu jadi spotlight, melainkan keberadaan tiap orang merupakan spotlight bagi dirinya sendiri. Dan, keberadaan kita tidak hanya tergantung pada kesadaran orang lain, tapi kesadaran kita akan keberadaan diri kita. Jadi kebahagiaan kita atas penghargaan tak harus berasal dari apresiasi orang lain, tapi apresiasi kita terhadap diri sendiri yang harus sama besar ketika mengapresiasi orang lain, karena setiap individu sama pentingnya dalam relasi kehidupan.

0 komentar:

Posting Komentar